Breaking News

Komnas HAM Soroti Hukuman Cambuk Untuk Pasangan Gay di Aceh

Proses Cambuk pasangan sesama jenis  di halaman Masjid Syuhada Lamgugob, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.
- Foto : Isra Fu'addi
Netizen Simeulue | Komnas HAM menilai perlu dilakukan peninjauan terkait dengan hukuman cambuk yang dijatuhkan kepada pasangan gay di Aceh, yakni MT (24) dan MH (24). Mahkamah Syariah Aceh sebelumnya memvonis keduanya melanggar jarimah liwat berdasarkan Pasal 63 ayat 1 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron dalam keterangan tertulis kami kutip dari detikcom, 23/05/2017, mengatakan ada tiga rekomendasi Komnas HAM terkait dengan penangkapan dan penjatuhan hukuman cambuk tersebut. 

Pertama, perlu dilakukan peninjauan terhadap qanun agar sesuai dengan semangat nilai hak asasi manusia (HAM) yang tercermin dalam UUD 1945. 

Kedua, pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk melakukan moratorium terhadap implementasi qanun yang tidak sesuai semangat hak asasi manusia. 

Ketiga, pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melakukan upaya-upaya untuk mengadopsi nilai-nilai HAM dalam kebijakan dan implementasinya. 


Dia memaparkan UUD 1945 mengatur secara lengkap soal HAM, baik sipil, politik, maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya, yang juga diatur dalam UU No 39/1999 tentang HAM. Secara khusus, Pasal 28 I ayat 2 UUD 1945 menyebutkan secara eksplisit 'setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu'.

"Komnas HAM berpandangan hal ini juga meliputi bebas diskriminasi atas dasar orientasi seksual ataupun identitas gender apa pun," ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, Indonesia telah mengesahkan kovenan internasional tentang hak-hak sipil politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 serta konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia melalui UU Nomor 5 Tahun 1998.

"Penangkapan dan penghukuman cambuk tersebut di atas bertentangan dengan pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945, UU 39/1999 tentang HAM, kovenan internasional hak-hak sipil politik, dan konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia melalui UU Nomor 5 Tahun 1998, khususnya hak atas privasi, hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang keji, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia," ucapnya.

Nurkhoiron mengatakan hak atas privasi dinyatakan dalam Pasal 28 G ayat 1, yaitu: 'Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawa kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi'. Hak ini juga diatur dalam kovenan internasional hak sipil dan politik pasal 17 yang menyatakan 'tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat-menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya'.

Dia menambahkan hak atas privasi memang tidak bersifat absolut. Meski demikian, penangkapan dan proses hukum yang dilakukan terhadap MT dan MH, yang merupakan dua manusia dewasa, menyentuh aspek yang paling intim dari kehidupan privat, yang dengan demikian dipandang sebagai intervensi terlalu jauh dan melanggar hak atas privasi mereka.

"Keputusan Mahkamah Syariat ini juga melanggar UU Nomor 5 Tahun 1998 Pasal 16 yang menyatakan bahwa negara harus mencegah perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Pelaksanaan hukuman cambuk di muka publik yang akan dilaksanakan besok (hari ini, red) juga bertentangan dengan konvensi ini. Proses hukum tersebut memberikan bukti bahwa qanun yang berlaku tidak sesuai dengan semangat HAM, yang sudah dijamin dalam UU," tuturnya. (Detik.com)